Sumur jodoh yang terletak di Cempae, Kecamatan Soreang sebagai salah satu potensi wisata selalu menarik untuk diungkap.
Pada tahun 1977, menurut salah seorang budayawan Parepare, Andi Syamsu Alam. B.Sc, saat potensi sumur jodoh dipentaskan dalam pameran pembangunan di Kota Makassar, terjadi sebuah ‘keanehan’ yang menarik untuk diceritakan.
Usai pameran salah seorang wartawan dari Jakarta merasa penasaran dan berkunjung ke Parepare ingin mengenal dan melihat lebih dekat lokasi dan sumur jodoh di Cempae Kota Parepare. Setelah di sana wartawan tersebut menimba air sumur tersebut dan berkumur-kumur. Anehnya, air sumur di atas laut itu tidak asin, ternyata berasa tawar. Lalu ia meminumnya, alhasil setelah dia balik ke Jakarta empat bulan kemudian dia mengirim undangan perkimpoian ke Parepare.
Sejarahnya:
Diambil dari sejarah Sultan Hasanuddin (Raja Gowa) dan lontara bugis Makassar ketika perluasan kerajaan Bone mengarungi lautan Pasifik serta diperkuat ulasan wilayah Parepare dalam lintasan sejarah oleh Edward L. Poelinggoman, Tokoh Sejarah Nasional pada museum sejarah Propinsi Sulawesi Selatan. Kebijakan VOC 1668, mendorong Raja Bone bergiat memperluas pengaruh kekuasaannya di Sulawesi Selatan. Dalam perjalanan dari Bone menuju Mallusetasi (di batas Parepare-Barru) melintasi Sidenreng Rappang (Letta) dan sempat menguasai daerah Sumpang Pala (Pabbaresseng) kabupaten Sidrap.
Lapatau Raja Bone, pelanjut perjuangan A. Tenri Tetta (Arung Palakka), melanjutkan perjalanannya ke daerah Mallusettasi. Dalam perjalanannya sempat menjumpai sebuah batu menyerupai seekor kuda sedang bertelungkup. Anehnya batu tersebut dapat bergerak dan berbunyi suara kuda dan berpindah tempat, membuat Lapatau (Raja Bone) sangat heran dan kaget sehingga raja Bone terpaksa tinggal di daerah itu dan memberi nama daerah itu Batu Kiki karena batu tesebut berbunyi kiki bagaikan suara kuda, kemudian diberi nama Bacukiki dan Lapatau membentuk suatu kerajaan.
Beberapa lama kemudian Lapatau tinggal di kerjaan Bacukiki, sempat mengawini seorang warga masyarakat disana. Tidak lama kemudian istrinya (permaisuri) melahirkan anak perempuan dan diberi nama Andi Tenri Uleng. Usia 16 tahun, A. Tenri Uleng berwajah sangat cantik, membuat panglima kerajaan/tobarani sangat terpesona dan mencintai Andi tenri Uleng. Begitu pula permaisuri juga sangat senang sama panglima karena wajah tampan dan sopan santun. Karena takdir Tuhan, musibah menimpa Andi Tenri Uleng. Ia diserang penyakit penyakit kusta, mengakibatkan masyarakat Bacukiki merasa khawatir dan gelisah terhadap penyakit A. Tenri Uleng yang dinilai dapat menyebar ke masyarakat.
Usaha para penghulu, adat tujuh dan masyarakat untuk mengobatinya tetapi tak kunjung sembuh malah makin parah. Maka keputusan adat tujuh menyingkirkan A. Tenri Uleng dari pusat Kerajaan Bacukiki atas usul raja dan permaisuri. Dan disayembarakan bahwa barang siapa yang dapat menyembuhkan A. Tenri Uleng, apabila laki-laki akan dikimpoikan, bila perempuan akan dijadikan saudara.
Dalam sayembara tersebut muncul beberapa peserta sayembara antara lain Sanrebo (Ahmad Patujuh) dari Cempae Kelurahan Watang Soreang dan tak ketinggalan Panglima Kerajaan/Tobarani meminta izin untuk ke Gunung Bawakaraeng mencari obat buat Andi Tenri Uleng. Ahmad Patujuh justru mengusulkan agar Andi Tenri Uleng dapat dibawa ke Cempae untuk diobati selama 40 hari 40 malam. Atas keputusan adat tujuh sebagai salah satu lembaga dalam struktur pemerintahan Kerjaan Bacukiki dan mendapat restu Raja dan permaisuri, A. Tenri Uleng dibawa ke Cempae Kelurahan Watang Soreang oleh Ahmad Patujuh dan dikawal pasukan kerajaan menuju ke Soreang.
Andi Tenri Uleng selama dalam pengasingan, pekerjaannya cuma menjaga padi yang sedang dijemur di depan rumah setiap pagi. Setiap hari Jumat jam 09.00, muncul seekor Kerbau Belang. Setiap kemunculannya, selalu menjilati sekujur tubuh A. Tenri Uleng. Sehabis dijilati, kerbau tersebut langsung menghilang, tiba-tiba muncul Ahmad Patujuh dan menanyakan kepada Andi Tenri Uleng atas apa yang barusan terjadi pada dirinya sehingga badannya nampak kemerah-merahan. Dijawab bahwa baru saja ada seekor kerbau belang yang menjilati sekujur tubuhnya, yang pada hakekatnya kerbau belang tersebut jelmaan Ahmad Patujuh sebagai kerbau belang untuk mengobati Andi Tenri Uleng.
Setiap kali Andi Tenri Uleng habis dijilati kerbau belang, Ahmad Patujuh membawanya ke laut untuk dimandikan dan diminumkan airnya. Anehnya air laut tersebut tidak asin, dan selama 40 hari 40 malam dilakukan hal seperti itu berangsur-angsur penyakitnya sembuh dan wajahnya makin bersinar, cantik dan bercahaya bagaikan sinar matahari.
Hingga pada suatu hari warga kerajaan Bacukiki dikagetkan dan gelisah melihat ada dua matahari yang terbit satu di timur satunya di barat hingga menimbulkan tanggapan akan terjadi kiamat karena tak mungkin ada dua matahari yang terbit. Maka raja menyuruh seorang pengawal kerajaan memeriksa terbitnya matahari disebelah barat. Setibanya di Cempae , ternyata bukan matahari yang terbit.
Image
Tetapi wajah A. Tenri Uleng bersinar memancarkan cahaya bagaikan sinar matahari yang muncul dari dalam rumah tempat pengasingannya. Pada sosok wanita cantik itu, pengawal bertanya dimana sekarang A. Tenri Uleng, dijawab, saya yang bernama A. Tenri Uleng, anak raja yang diasingkan di Cempae Soreang. Ketika itu pengawal langsung bergegas meninggalkan tempat pengasingan dan melapor pada baginda raja, bahwa sinar matahari yang terbit itu adalah A. Tenri Uleng yang sudah sembuh, dan dialah yang bersinar bagai sinar matahari, wajahnya semakin cantik dan mempesona.
Lapatau, Raja Bacukiki didampingi permaisurinya memanggil adat tujuh dan pabbicara (Humas) kerajaan. Disepakati menjemput A. Tenri Uleng untuk dibawa kembali ke kerajaan Bacukiki. Sayangnya, dalam penjemputan A. Tenri Uleng tidak bersedia jika Ahmad Patujuh tak diikut sertakan sebagai wujud janji raja bacukiki dan permaisurinya untuk mengawinkan pada siapa pun orang yang mampu dan telah menyembuhkan penyakitnya.
Raja Bacukiki, Lapatau, merestui permintaan tersebut. Maka dilakukanlah penjemputan secara adat kerajaan. Di kerajaan disambut rasa gembira dan pesta kerajaan. Sementara acara penjemputan dan pesta adat, tiba-tiba muncul Panglima Kerajaan Bacukiki yang baru saja tiba dari Gunung Bawakaraeng membawa obat untuk A. Tenri Uleng. Panglima kaget melihat wajah A. Tenri Uleng sudah sembuh dan semakin cantik. Perasaannya kecewa karena obat yang dibawa dari gunung tersebut langsung dibuang, dilemparkan disusul tangisan meledak karena merasa usahanya gagal.
Padahal permaisuri tadinya senang jika panglima yang mengawini anaknya, sehingga terjadilah perdebatan antara raja dan permaisuri, Ahmad Patujuh dan Panglima kerajaan tersebut. Hasil rapat dan musyaearah menyepakati jalan tengah yang dianggap lebih adil berupaya menyelesaikan lewat pertarungan kerins dalam sarung. Tetapi A. Tenri uleng tidak menyetujui karena dinilai tak manusiawi, kemudian ia mendatangi Ahmad Patuju agar menolak ajakan tersebut, tetapi Ahmad Patujuh pasrah atas keputusan adat untuk diadu dalam satu sarung.
Pertarungan keris dalam satu satung segera dimulai. Sementara berlangsung pertarungan tiba-tiba pengawal panglima kerajaan datang memisahkan kedua belah pihak dengan tombak terhunus. Tak disengaja tombaknya menusuk mengenai perut panglima dan langsung membuka sarung dan membungkus mayat panglima, lalu menuju ke hadapan raja serta bersujud di depan raja.
Raja Bacukiki, Lapatau, menginstruksikan seluruh pengawal kerajaan dan adat tujuh segera mempersiapkan upacara pemakaman Panglima Perang Kerajaan dan mengundang seluruh masyarakatnya. Setelah selesai acara pemakaman, raja dan permaisurinya memanggil Ahmad Patujuh bersama A. Tenri Uleng dan menanyakan kepada Ahmad Patujuh, “Hai Ahmad, aga akkuragammu naweddingngi Mupasau lasanna anrimmu Tenri Uleng?”. Ahmad Patujuh kemudian menjawab, ‘Degaga akkuragakku Puang, engkami Seddi Tedong Buleng lellungngi anrikku Tenri Uleng, nalepe’i Siddi watakkale, wettunna Esso Juma ri ele’e, narekko purasi puang rilepe tedong bulengnge, utiwisi ucemmei ritasi’e sibawa kupenungengngi uae tasi’e, nakkomiro Puang akkuragakku nasau lasanna anrikku Andi Tenri Uleng”. Andi Tenri Uleng kemudian berkata “Tongeng-tongengngi ro nasengnge Ahmad Patujuh”.
Setelah wawancara Raja Bacukiki dan Hamad Patujuh, maka dijadwalkan waktu pelaksanaan pesta perkimpoian keduanya. Raja dan permaisuri menetapkan bahwa lokasi tempat pengobatan penyakit Andi Tenri Uleng diberi nama “Bujung Pattimpa Parakkuseng” artinya bujung adalah sumur, pattimpa adalah pembuka dan parakkuseng adalah jodoh. Karena berkat air sumur yang ada di laut yang dinikmati Andi Tenri Uleng, Raja Bacukiki, Lapatau, mengalokasikan di Soreang tempat penampungan pengobatan masyarakat yang terkena penyakit kulit dan diberi nama Rumah Sakit Kusta Lauleng.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar